Laman

Minggu, 01 April 2012

DAMPAK PERANTAUAN TERHADAP KEHIDUPAN BERKELUARGA





Oleh Desideratus Mariano Amdingsaputro *

I.       Pengantar
            Perantauan adalah fenomena yang telah lama dihidupi masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi dalam kehidupan masyarakat NTT. Realitas perantaun seakan menjadi budaya yang telah dihidupi sejak zaman dahulu dan makin popular di zaman sekarang. Kalau kita mau menghitung mundur ke belakang, sebenarnya banyak sekali orang Flores yang memilih merantau di daerah lain. Kebanyakan ke Jawa dan Bali.[1] Namun, tak sedikit juga yang merantau ke Kalimantan, Papua, Sulawesi, Sumateta bahkan jauh ke negeri Jiran sana. Semuanya pasti memiliki alasan tersendiri mengapa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Memang merantau sebenarnya bukanlah keinginan setiap orang sejak kecil. Namun karena ada beberapa hal yang kemudian membuat orang Flores, “terpaksa” pergi meninggalkan Flores dan merantau ke luar.
            Hal mendasar yang mendorong orang untuk merantau adalah untuk mengadu nasib dan mencari kesuksesan. Atas dasar inilah maka kebanyakan orang meninggalkan sanak keluarga, kampung halaman dan mengadu nasib di tanah rantau. Perantauan yang pada awalnya merupakan sebuah usaha luhur kini telah mengalami pergeseran. Salah satu hal utama yang disoroti yaitu menurunnya moral manusia. Sejauh ini kita dapat melihat bahwa banyak kasus yang menimpa para perantu kita. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja Katolik harus menanggapinya secara serius. Gereja harus peka melihat realitas seperti ini. Karena persoalan ini mengancam keutuhan keluarga Katolik.
II. Memahami Fenomena Perantauan
2.1  Makna Perantauan
            Term perantauan berasal dari kata “rantau” yang berarti daerah diluar daerah/ negeri sendiri. Perantauan berarti negeri tempat orang mencari penghidupan, daerah yang didiami orang yang berasal dari daerah lain. Kata kerja merantau berarti pergi ke daerah/ Negara lain untuk mencari penghidupan. Pelakunya disebut perantau.[2] Golongan orang-orang yang meninggalkan kampung halaman dan menuju ke tanah rantau dapat dibedakan menjadi dua golongan. Pertama, golongan terpelajar. Mereka ini merupakan golongan yang terdiri dari para remaja yang berangkat ke tanah rantau dengan motif untuk studi atau specialiced training.[3] Kedua, Golongan perantau yang tidak memiliki keterampilan yang memadai. Mereka rata-rata berekonomi lemah dan berpendidikan minim saja.[4]
            Para perantau Indonesia yang berada di luar negeri, khususnya yang tersebar di beberapa Negara asia lebih dari dua juta orang termasuk pekerja ilegal. Mengadu kesuksesan di tanah rantau bukanlah hal yang mudah dan selalu berhasil. Kadang pula para perantau harus bergulat dengan penderitaan fisik dan batin. Daerah rantau kadang menjadikan mereka sebagai sasaran perlakuan buruk, hak asasi mereka diinjak-injak dan tidak mendapat perlindungan hukum. Lebih sadis lagi mereka diperlakukan semena-mena oleh majikan mereka.
2.2 Alasan dan Tujuan Perantauan
2.2.1 Aspek Ekonomi
            Berdasarkan fakta, mayoritas masyarakat Flores bermata pencaharian sebagai petani. Masalah yang paling mendasar bagi keluarga-keluarga Flores adalah kemiskinan dan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat. Di saat kebutuhan harian makin meningkat, di saat itu pula kemiskinan terus menanjak. Sebuah perbandingan yang sangat menyiksa masyarakat Flores. Jumlah pendapatan yang diperoleh justru berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Semakin tinggi dan banyak pendapatan yang diperoleh, semakin banyak juga kebutuhan harian dengan tingkat harga yang melambung pula. Pergerakan ekonomi di daerah lain bergerak jauh lebih cepat dari pergerakan ekonomi di daerah Flores. Kemiskinan ini menutup dan mengekang semua lapisan masyarakat Flores, tanpa kecuali. Hampir tidak ada satupun golongan masyarakat Flores yang berada di luar lingkaran kemiskinan, kecuali para pejabat. Kemiskinan seakan menjadi “duri dalam daging” bagi masyarakat Flores. Di tanah yang gersang, dengan tingkat pendapatan yang kecil, orang-orang Flores masih harus berjuang untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan harian mereka. Sungguh sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan.
Kemiskinan ini berdampak langsung terhadap kurangnya infrastruktur memadai di Flores dan meningkatnya angka pengangguran di Flores. Bicara soal infrastruktur, Flores kalah segala-galanya. Sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana pemerintahan, semuanya sangat minim. Tak ada toko buku yang bisa diakses dengan mudah. Tak ada rumah sakit dengan pelayanan prima. Sungguh sangat menyedihkan, mengingat daerah terpencil seperti Flores, harusnya membutuhkan pembangunan di bidang infrastruktur. Keadaan ini sungguh terasa menyedihkan karena mayoritas masyarakat Flores sangat merindukan infrastruktur yang memadai dengan kemudahan aksesibilitasnya. Lain infrastruktur, lain pula soal pengangguran. Pengangguran itu adalah hasil “perkawinan” antara kemiskinan yang meningkat dan lapangan pekerjaan yang terbatas. Seperti itulah keadaan di Flores. Di saat kemiskinan dan angka kelahiran yang terus meningkat, lapangan pekerjaan malah semakin menipis. Satu-satunya pekerjaan yang membuka lowongan rutin tiap tahun hanyalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun, akibat dari kurangnya pendidikan masyarakat Flores kala itu, PNS pun tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk ‘berlabuh’. Di saat yang bersamaan, PNS sudah dirasakan tidak mampu menjawabi zaman yang semakin cepat berlari ke depan. Generasi muda di NTT seolah kehilangan masa depan. Mau merantau, tak punya duit. Mau bekerja, tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Pun tak ada industri-industri kreatif yang berkembang di Flores. Alhasil, generasi muda Flores lebih mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan, di pinggir (dekker) jembatan, duduk bergerombolan, menenggak minuman keras dan akhirnya menciptakan berbagai keresahan di tengah masyarakat.
Kemiskinan dan pengangguran ini semakin diperparah dengan menurunnya produktivitas sektor unggulan di Flores, yaitu pertanian. Banyak orang bilang Flores itu hanya cocok untuk pertanian. Sayangnya, pertanian itu identik dengan kemiskinan. Apalagi, saat ini, pertanian dirasa sudah tidak kontekstual lagi, tidak mampu menjawabi tantangan zaman. Lihat saja, berapa banyak generasi muda yang kuliah dan mengambil mata kuliah pertanian? Berapa banyak anak-anak muda Flores, yang setelah selesai kuliah, kemudian kembali dan mengembangkan kebun milik orangtuanya? Sangat kecil jumlahnya. Mau sampai kapan Flores bertahan dengan pertanian subsisten, sementara masyarakat luar sudah mulai berkembang dan maju dengan ilmu-ilmu terapan lainnya? Dunia itu terus berubah. Di dalam sebuah dunia yang dinamis, stagnasi bisa dianggap sebagai sebuah kemunduran. Alasan-alasan ekonomi inilah yang akhirnya memantapkan orang-orang Flores mengambil keputusan untuk memilih jalan merantau. Mereka hanya mau keluar dari jerat kemiskinan yang ada. Bukankah seorang anak harus bercita-cita menjadi lebih baik dari orangtuanya?

2.2.2 Aspek Sosio Kultural

Selain masalah ekonomi, kondisi sosio-kultural pun turut mempengaruhi orang-orang Flores memutuskan meinggalkan tanah Flores. Pertama, terlalu kuatnya adat yang mengekang masyarakat Flores. Orang Flores itu terkenal memegang teguh adat istiadat yang ada. Sayangnya, hal ini justru membuat orang Flores semakin “mengkultuskan” adat istiadat. Sedangkan dalam sebuah dunia yang modern, kita perlu untuk sesekali “meninggalkan” adat istiadat yang terlalu mengekang. Jika adat istiadat dirasakan tidak membawa masyarakat Flores ke arah kesejahteraan, kenapa harus tetap dipertahankan? Bukankah adat istiadat harus disesuaikan dengan perkembangan zaman? Setiap acara atau ritual adat maupun keagamaan di Flores, hampir pasti ada saja yang dikorbankan. Entah itu kerbau, sapi, babi, anjing, beras, buah-buahan maupun sayur-sayuran. Semua ini tentunya mempunyai harganya masing-masing. Kadang, untuk sebuah urusan adat, orang Flores harus berhutang. Sederhananya, gali lubang tutup lubang. Kedua, Flores masih kental dengan nilai-nilai primordialisme. Walaupun berada dalam satu pulau, orang Flores masih terkotak-kotak dalam perbedaan suku, kabupaten maupun bahasa. Di dalam sebuah dunia yang terus berkembang, primordialisme kadang menjadi penghambat pembangunan. Bagaimana mau maju kalau perjuangan menuju kemajuan itu masih dilakukan daerah per daerah atau golongan per golongan? Satu yang aneh adalah, jika berada di luar Flores, orang Flores bersatu sebagai satu Flores. Itu pun masih terbatas dalam hal-hal tertentu. Namun, di dalam Flores sendiri masih terjadi berbagai konflik atas nama suku dan daerah.
2.3 Dampak Perantauan
            Salah satu dampak positif dari perantuan ialah meningkatnya pendapatan bagi keluarga asal perantau. Kita lihat saja kehidupan nyata yaitu bahwa seseorang rela menjual segala macam harta misalnya saja tanah, ternak dll, hanya untuk bekal menuju tanah rantau. Semua ini tidak mereka perhitungkan, yang penting bisa merantu. Rupanya tanah rantau telah menjadi “firdaus” yang indah dan diidam-idamkan serta menjadi tanah terjanji bagi mereka.
            Selain dampak positif, muncul pula dampak-dampak negatif dari perantauan. Pertama, seorang suami yang merantau harus meninggalkan anak-istri di kampung halamannya. Konsekuensi dari hal ini, istri dan anak harus menghidupi diri sendiri. Situasi kesendirian ini dapat melahirkan hilangnya rasa tanggung jawab dan kesetiaan dari suami-istri. Juga membuka ruang bagi terciptanyan dampak negatif seperti perselingkuhan dan ketidakseimbangan perkembangan anak. Biasanya sang istri yang ditinggalkan akan merasa sungguh tertekan bila sang suami yang sudah lama merantau tidak memberikan kabar berita kepadanya. Berbagai isu dan gosip mulai berkembang bahwa sang suami telah mempunyai istri lagi di tanah rantau. Hal ini tentunya menyebabkan keretakan dalam rumah tangganya.
            Kedua, dampak lain dari perantauan yaitu aktivitas kemasyarakatan orang desa dan keagamaan didominasi oleh kaum perempuan. Tidak heran bila yang selalu menghadiri perayaan kebaktian agama didominasi oleh kaum wanita. Ketiga, problem moral. Kemajuan industri di tanah rantau memacu deviasi moral. Pergaulan bebas, free seks, hamil di luar nikah, narkoba, perjudian menjadi fenomena buruk bagi para perantau.
2.4 Dampak Perantauan Bagi Keluarga
            Dampak dari perantauan telah merasuk jauh kedalam kehidupan keluarga. Praksisnya dalam keluarga tidak ada lagi kepala keluarga. Padahal dalam kehidupan masyarakat kita, eksistensi kepala keluarga sangat menentukan keberadaan sebuah keluarga. Sama halnya dalam doktrin Kristiani, ditandaskan bahwa perkawinan dimaksudkan agar mereka yang terlibat mempunyai anak, diberkati dengan perhatian dan mendidik mereka demi kehendak Allah, demi pujian dan kemuliaan.[5] Dalam keluarga perantau, tujuan perkawinan untuk mendapat dan mendidik anak demi kehendak dan kemuliaan Allah bukan menjadi ideal pertama. Anak berkembang dalam asuhan ibunya maka mereka hanya mengenal ibu. Tidak akan ada kemesraan antara bapak dan anak sama seperti antara anak dan ibu. Kadang pula terjadi sang ayah yang baru pulang dari perantauan melihat anak gadisnya bukan lagi dengan naluriah kebapaan namun lebih pada naluri yang pada akhirnya menuju inses.
            Tidak adanya relasi seksual secara normal dalam jangka waktu yang panjang, dapat berakibat fatal bagi istri sebagai pihak yang dikorbankan, dan bagi keutuhan keluarga. Sang istri akan mengalami tekanan psikis sehingga sering terjadi sang istri jatuh ke tangan laki-laki lain. Karena tuntutan biologis dan tak pastinya pengiriman uang, terpaksa dia menerima laki-laki lain yang lebih bertanggung jawab.

III. Peranan Gereja Menghadapi Iklim Buruk Perantauan
            Fenomena perantauan yang kian meningkat dan memburuk telah menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Dalam hal ini gereja pun juga harus turut berpartisipasi dalam menanggapi masalah ini. Membengkaknya jumlah perantauan merupakan salah satu bukti bahwa manusia salah menggunakan kebebasan. Mengapa hal ini terjadi? Karena zaman sekarang yang mendorong seseorang untuk merantau bukan hanya karena motif mencari nafkah, namun juga karena orang merasa tergiur dengan pesona kota-kota besar.
3.1 Pastoral Keluarga dalam Menghadapi Fenomena Perantauan
            Maraknya fenomena perantauan menjadi tantangan sekaligus peluang untuk berpastoral secara baru. Gereja harus berjuang keras menghadapi situasi konkret ini. Gereja harus berani turun dan mulai berdialog dengan umatnya, terutama umat-umat dari golongan kecil dan miskin, gereja yang sungguh lokal dan mempribumi, berdialog dengan semua orang khususnya orang miskin.[6] Gereja atau agen pastoral harus menyokong pengentasan kemiskinan dan harus memelihara nilai-nilai otentik dari kepribadian atau kehidupan keluarga.
            Berhadapan dengan fenomena perantauan, Paus Yohanes Paulus II menyerukan suatu usaha pastoral yang lebih siap, bijaksana dan arif menurut teladan gembala yang baik bagi keluarga-keluarga yang diluar kemauan mereka atau keadaan sulit lainnya harus bergulat dengan situasi yang sulit. Maka dari situ, sikap pastoral gereja yaitu, memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga akan dampak negatif dari perantauan, misalnya melalui kegiatan katekese dan pembinaan iman lainnya. Ada dimensi penting yang perlu dipersiapkan sebelum merantau. Untuk itu gereja harus berperan dalam penanaman nilai spiritual ke dalam diri para perantau. Gereja harus memberikan pemahaman dan peneguhan iman bagi anggota keluarga perantau, khususnya kesetiaan anggota keluarga yang ditinggal pergi.

IV. Penutup
            Realitas perantauan dewasa ini menjadi hal yang sulit untuk dibendung.berbagai realitas kelam di tanah perantaun tidak mengurangi kemauan untuk merantau. Memang banyak orang yang menuai keberhasilan di tanah rantau, namun selain itu pula pelecehan moral juga tumbuh secara subur karena perantauan. Salah satu dampak utamanya yaitu bagi kehidupan berkeluarga. Keutuhan keluarga kadang mulai mengalami keretakan akibat tindakan ini. Berhadapan dengan situasi seperti ini, gereja harus mulai menunjukan keberpihakannya dalam menyelamatkan umat manusia. Karya pastoral gereja sesungguhnya harus secara langsung menyentuh umat yang mengalami fenomena tersebut. Tidak semua perantau mengakhiri ziarah migrasinya dengan membawa kesuksesan. Ada yang secara material sukses namun gagal secara spiritual, atau pun sebaliknya. Untuk itu mereka perlu ditolong. Siapa yang harus menolong? Yang pasti bahwa siapa saja dapat menolong untuk penemuan diri utuh secara jasmani dan rohani.
·         Calon Imam Keuskupan Maumere



[1] Abdul Haris, Kucuran Keringat dan Derap Pembangunan  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p.17.
[2] Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).  p. 728.
[3] Yosef Lalu, Kembali Ke Desa Tinggal Di Desa (Jakarta: Komisi kepemudaan KWI, 1999), p.2
[4] Ibid.,
[5] Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen ( Yogyakarta: Kanisius, 2000), p.53.
[6]  San Fernando, “La Union”, dalam Georg Kirchberger dan John M Prior (ed), Mengendus Jejak Allah I (Ende: Nusa Indah, 1997), p. 100.

Tidak ada komentar: